Sayidina Anwar menerima cupumanik itu. Meskipun ukurannya kecil, namun memiliki daya kesaktian mampu menampung semua air keabadian yang dipancarkan awan mendung tersebut sampai habis. Setelah dirasa cukup, keduanya lalu pergi meninggalkan Tanah Lulmat.
ANWAR (NURCAHYA) MENDAPATKAN LATA MAHOSADI
Sesampainya di luar Kutub Utara, Malaikat Ajajil pamit pergi meninggalkan Sayidina Anwar yang kemudian melanjutkan perjalanan pulang sendiri. Di tengah jalan, Sayidina Anwar menemukan Pohon Rewan, yaitu sejenis pohon ajaib yang tidak memiliki daun sama sekali, tapi bisa hidup sehat. Suara hatinya berkata bahwa akar pohon gundul tersebut bernama Oyod Mimang, merupakan pusaka yang sangat ampuh. Sayidina Anwar lalu mengambil Oyod Mimang itu dan menjadikannya sebagai pusaka yang diberi nama Lata Mahosadi. Keampuhan akar pohon ini adalah dapat digunakan untuk menyembuhkan segala macam penyakit, bahkan bisa menghidupkan orang mati. Akan tetapi, karena menyimpan Lata Mahosadi tanpa persiapan, tiba-tiba pikiran Sayidina Anwar menjadi bingung. Ia tidak tahu ke mana arah jalan pulang menuju Kusniya Malebari. Maka, ia pun berjalan secara serabutan dan akhirnya terlunta-lunta selama ribuan tahun.
Sesampainya di Laut Hitam, Sayidina Anwar menyaksikan pemandangan aneh. Ia melihat dua orang manusia tergantung-gantung di angkasa, di atas laut. Sayidina Anwar bertanya, dan kedua orang itu mengaku bernama Malaikat Harut dan Malaikat Marut.
Kedua malaikat tersebut dulu pernah menyampaikan keluhan kepada Tuhan, bahwa keputusan Tuhan mengangkat manusia sebagai khalifah di bumi adalah keliru. Banyak sekali keturunan Nabi Adam yang berbuat kerusakan dan menuruti hawa nafsu. Jika yang menjadi khalifah adalah bangsa malaikat, tentu bumi akan lebih makmur.
Kedua malaikat juga berkata, jika mereka memiliki hawa nafsu seperti manusia, pasti mereka tetap bisa mengendalikannya dan tidak mungkin terjerumus ke dalam kejahatan. Tuhan Yang Mahakuasa lalu memberikan ujian dengan cara mengisi mereka berdua dengan hawa nafsu dan menurunkannya ke bumi. Ternyata pada akhirnya mereka gagal juga menjalani ujian tersebut karena terlena oleh pujian sehingga mengajarkan ilmu sihir kepada umat manusia dengan sesuka hati. Kini, Malaikat Harut dan Malaikat Marut harus menjalani hukuman dengan tergantung-gantung di atas Laut Hitam.
Sayidina Anwar sangat tertarik dan ingin menjadi murid mereka. Kedua malaikat lalu mengajarinya berbagai macam ilmu pengetahuan, seperti ilmu perbintangan, ilmu bumi, ilmu kebijaksanaan, serta ilmu berbicara dengan berbagai jenis makhluk hidup.
Sayidina Anwar sangat bersyukur. Ia merasa tidak perlu lagi kembali ke Negeri Kusniya Malebari karena semua anggota keluarga yang dikenalnya pasti sudah meninggal dunia. Maka, ia lantas menanyakan di mana letak Surga dan Neraka karena ingin melihat bagaimana keadaan di dalam sana. Kedua malaikat berbohong dengan mengatakan bahwa Surga dan Neraka terletak di hulu Sungai Nil.
ANWAR (NURCAHYA) BERGURU KEPADA LATA DAN SITI UJWA
Sayidina Anwar yang polos segera mengikuti petunjuk kedua malaikat gurunya. Ia pun mendatangi Sungai Nil dan berjalan menyusuri sungai terpanjang di dunia tersebut. Dalam perjalanannya itu ia bertemu paman dan bibinya yang bernama Sayidina Lata dan Siti Ujwa, putra-putri Nabi Adam dan Siti Hawa nomor lima belas.
Sayidina Anwar sangat terkejut melihat paman dan bibinya itu masih hidup. Ternyata mereka berdua dulu kabur dari Kusniya Malebari karena tidak bersedia dinikahkan dengan saudara yang lain, sebagaimana yang pernah dikeluhkan Sayidina Kabil. Mereka juga tidak mengikuti agama Nabi Adam dan memilih mencari jalan kehidupan sendiri, sehingga akhirnya menemukan cara agar bisa tetap awet muda.
Sayidina Anwar kemudian berguru kepada paman dan bibinya tersebut, dan ia memperoleh ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara melihat masa depan. Setelah dirasa cukup, Sayidina Anwar lalu melanjutkan perjalanan menuju hulu Sungai Nil.
ANWAR MELIHAT ISI SURGA DAN NERAKA
Sayidina Anwar telah sampai di hulu Sungai Nil yang berupa rawa-rawa sangat luas bernama Rawa Jambirijahiri. Ia sangat kecewa dan merasa telah ditipu oleh Malaikat Harut dan Malaikat Marut karena di tempat itu ternyata sama sekali tidak terdapat Surga dan Neraka. Yang ada di sana hanyalah pemandangan Gunung Kapsi yang berkali-kali menyemburkan api mengerikan.
Sayidina Anwar melihat air yang mengisi rawa-rawa tersebut ternyata bersumber dari mata air di Gunung Kapsi. Maka ia pun melanjutkan perjalanan mendaki gunung tersebut. Di puncak gunung, ia bertemu seorang kakek tua yang mengaku sebagai penguasa Surga dan Neraka.
Kakek tua itu tidak lain adalah Malaikat Ajajil yang sedang menyamar. Ia mengatakan bahwa Sayidina Anwar yang berhati tulus dalam mematuhi petunjuk kedua gurunya, berhak menerima anugerah Tuhan berupa Permata Retnadumilah. Melalui permata tersebut, Sayidina Anwar dapat menyaksikan keindahan Surga dan kengerian Neraka.
Si kakek tua lalu mengajarkan berbagai macam ilmu baru kepada Sayidina Anwar, antara lain ilmu panitisan atau bersatu dengan makhluk lain, ilmu memasuki alam kematian, dan ilmu memutarbalikkan waktu. Setelah selesai, kakek tua itu memerintahkan kepada Sayidina Anwar untuk bertapa ke Pulau Lakdewa yang terletak di Samudera Hindia. Sayidina Anwar pun mohon pamit dan berangkat.
Sang hyang Nurrasa
ANWAR (NURCAHYA) BERTAPA DI PULAU LAKDEWA
Sayidina Anwar telah sampai di Pulau Lakdewa dan bertapa di puncak sebuah gunung. Ia bertapa dengan cara menatap jalannya Matahari. Jika pagi hari wajahnya menghadap ke timur, jika siang hari wajahnya menghadap ke atas, dan jika sore hari wajahnya menghadap ke barat, kemudian jika malam hari ia berendam di air.
Setelah tujuh tahun bertapa seperti itu dengan sabar dan tekun, Sayidina Anwar pun menjadi makhluk halus yang berbadan rohani, tinggal di alam Sunyaruri, yaitu alam para jin. Di alam itu tiada barat, tiada timur, tiada utara, tiada selatan, tiada atas, tiada bawah. Terang tanpa siang, gelap tanpa malam. Ruang dan waktu menjadi satu, sudah musnah semua tiada nama, dan segalanya berada dalam rengkuhan Tuhan Yang Mahakuasa.
Sayidina Anwar kemudian mendapatkan perintah Tuhan untuk segera berkeluarga, karena keturunan Sayidina Anwas saja saat ini sudah mencapai zaman Nabi Musa. Sayidina Anwar patuh dan segera bertapa di dalam gua untuk mendapatkan jodoh yang tepat.
PRABU NURHADI MENCARI MENANTU
Tersebutlah raja jin di Pulau Maladewa bernama Prabu Nurhadi, yang masih keturunan Jan Banujan, leluhur para jin di dunia. Ia memerintah didampingi saudaranya yang bernama Patih Amir. Pada suatu hari, putri tunggal Prabu Nurhadi yang bernama Dewi Nurrini bermimpi didatangi seorang kakek tua yang memberi tahu bahwa jodohnya yang bernama Sayidina Anwar sudah dekat, dan saat ini bertapa di sebuah gua. Kakek tua itu mengabarkan bahwa perkawinan Dewi Nurrini dengan Sayidina Anwar kelak akan menurunkan raja-raja Tanah Hindustan dan Tanah Jawa.
Dewi Nurrini menceritakan apa yang dialaminya kepada sang ayah. Prabu Nurhadi lalu mengutus Patih Amir untuk pergi menyelidiki laki-laki yang digambarkan sang putri dalam mimpinya itu. Patih Amir pun mohon diri dan berangkat.
Perjalanan Patih Amir akhirnya sampai di Pulau Lakdewa dan ia menemukan seorang laki-laki di dalam gua yang tubuhnya bercahaya tapi tidak menyilaukan, seperti sinar bulan purnama. Setelah berkenalan dan mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayidina Anwar seperti yang ia cari, Patih Amir pun mengajaknya pergi ke Pulau Maladewa untuk bertemu Prabu Nurhadi dan Dewi Nurrini.
ANWAR (NURCAHYA) MENIKAH DENGAN DEWI NURRINI
Prabu Nurhadi menerima kedatangan Sayidina Anwar dan Patih Amir. Dilihatnya sosok Sayidina Anwar ternyata berwajah tampan dan tubuhnya bercahaya seperti bulan purnama, membuat hatinya sangat berkenan. Dewi Nurrini juga yakin kalau Sayidina Anwar ini sesuai dengan petunjuk yang diberikan si kakek tua dalam mimpi. Maka pernikahan di antara mereka pun dilangsungkan di Pulau Maladewa, dan Sayidina Anwar berganti nama menjadi Sanghyang Nurcahya.
Singkat cerita, Dewi Nurrini telah mengandung dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Sanghyang Nurrasa. Prabu Nurhadi merasa sudah tiba saatnya untuk mengundurkan diri dari takhta Kerajaan Maladewa, dan menyerahkannya kepada sang menantu. Maka sejak saat itu, Sanghyang Nurcahya menjadi pemimpin Kerajaan Maladewa, yang namanya kemudian diganti menjadi Kahyangan Pulau Dewa.
Di Kahyangan Pulau Dewa, Sanghyang Nurcahya dihadap Sanghyang Nurrasa dan Patih Amir. Yang dibicarakan adalah rencana Sanghyang Nurcahya untuk mewariskan takhta beserta semua pusaka kepada Sanghyang Nurrasa yang dianggap telah cukup dewasa. Namun Sanghyang Nurrasa merasa belum memiliki kemampuan untuk memikul tanggung jawab berat ini.
Sanghyang Nurcahya lalu memerintahkan putra tunggalnya itu untuk segera menikah sehingga memiliki istri yang bisa diajak berunding dalam memutuskan permasalahan. Lagi-lagi Sanghyang Nurrasa menolak karena masih ingin menambah ilmu dan pengalaman, apalagi dirinya belum mengetahui siapa wanita yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup. Sanghyang Nurcahya marah dan mengusir Sanghyang Nurrasa pergi meninggalkan Kahyangan Pulau Dewa.
Sepeninggal Sanghyang Nurrasa, Patih Amir memohon supaya Sanghyang Nurcahya mengampuni Sanghyang Nurrasa dan memerintahkannya kembali. Namun Sanghyang Nurcahya menjelaskan bahwa kemarahannya tadi hanyalah pura-pura untuk mengukur sampai sejauh mana keteguhan hati dan kedalaman ilmu putranya. Sanghyang Nurcahya lalu memerintahkan Patih Amir untuk mengawasi perjalanan Sanghyang Nurrasa dari kejauhan. Sang Patih menurut dan segera berangkat.
SANGHYANG NURRASA BERTAPA DI PULAU DARMA
Sanghyang Nurrasa berkelana sampai tiba di Pulau Darma dan bertapa di puncak sebuah gunung. Beberapa waktu kemudian datang seorang jin bernama Patih Parwata bersama pasukannya. Patih Parwata marah karena ada orang asing berani bertapa di wilayah Kerajaan Pulau Darma. Mereka pun mengganggu Sanghyang Nurrasa supaya menghentikan tapa brata tersebut.
Sanghyang Nurrasa bangun dan menghadapi Patih Parwata. Keduanya lalu mengadu kepandaian yang dilanjutkan dengan pertempuran adu kesaktian. Meskipun seorang diri, namun Sanghyang Nurrasa mampu menghadapi mereka semua tanpa terdesak sama sekali. Patih Amir yang mengintai dari persembunyian akhirnya muncul dan melerai pertempuran tersebut sebelum jatuh korban di antara mereka.
Kepada Patih Parwata, Patih Amir memperkenalkan Sanghyang Nurrasa sebagai cucu dari Prabu Nurhadi. Ternyata Patih Parwata adalah kakak kandung Prabu Nurhadi dan Patih Amir sendiri. Patih Parwata sangat gembira mengetahui bahwa Sanghyang Nurrasa ternyata masih anggota keluarganya. Ia pun mengundang Sanghyang Nurrasa dan Patih Amir untuk berkunjung ke Kerajaan Pulau Darma.
SANGHYANG NURRASA MENIKAH DENGAN DEWI RAWATI
Raja jin di Kerajaan Pulau Darma bernama Prabu Rawangin adalah adik dari Patih Parwata, sehingga terhitung masih saudara Prabu Nurhadi dan Patih Amir pula. Prabu Rawangin menyambut baik kedatangan Sanghyang Nurrasa dan langsung merasa suka kepadanya. Maka, Prabu Rawangin pun berniat menjadikan Sanghyang Nurrasa sebagai menantu, yaitu dijodohkan dengan putrinya yang bernama Dewi Rawati.
Prabu Rawangin menceritakan beberapa hari yang lalu Dewi Rawati telah bermimpi mendapat petunjuk bahwa jodohnya sudah dekat, dan merupakan cucu dari Nabi Sis. Tak disangka laki-laki yang dimaksud dalam mimpi tersebut kini sudah hadir dan masih anggota keluarga sendiri dari pihak ibu. Menanggapi hal ini, Sanghyang Nurrasa meminta pertimbangan kepada Patih Amir, dan Patih Amir pun menyarankan supaya menerima perjodohan tersebut. Sanghyang Nurrasa akhirnya bersedia menjadi menantu Prabu Rawangin.
Maka, diadakanlah upacara pernikahan antara Sanghyang Nurrasa dengan Dewi Rawati. Tujuh hari kemudian Sanghyang Nurrasa mendapat izin memboyong sang istri untuk menetap di Kahyangan Pulau Dewa.
Silsilah Keluarga Sang Hyang Nurrasa
Sang Hyang Wenang
SANGHYANG NURCAHYA MEWARISKAN KAHYANGAN PULAU DEWA
Sanghyang Nurcahya dan Dewi Nurrini menyambut kedatangan Sanghyang Nurrasa dan Dewi Rawati dengan suka cita. Sanghyang Nurcahya kemudian menyatakan pengunduran dirinya sebagai penguasa Kahyangan Pulau Dewa. Ia telah menulis semua pengalaman hidupnya dalam sebuah kitab gaib bernama Pustaka Darya, dan menyerahkannya kepada Sanghyang Nurrasa bersama pusaka-pusaka yang lain, yaitu Tirtamarta Kamandanu, Cupumanik Astagina, Lata Mahosadi, dan Retna Dumilah.
Setelah Sanghyang Nurrasa meminum Tirtamarta Kamandanu, Sanghyang Nurcahya kemudian menitis ke dalam dirinya, bersatu jiwa raga dengan putranya tersebut. Sejak saat itu, Sanghyang Nurrasa pun menjadi pemimpin tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa.
KELAHIRAN ANAK-ANAK SANGHYANG NURRASA
Beberapa bulan kemudian, Dewi Rawati melahirkan putra berupa Sotan, yaitu suara tanpa rupa, berjumlah dua dan saling berebut siapa yang lebih tua. Sanghyang Nurrasa lalu mengheningkan cipta memasuki alam gaib dan membina semua rahsa, sehingga kedua suara itu dapat dikumpulkan dan diberi wujud. Yang bersuara besar dijadikan anak pertama, diberi nama Sang Supi, bergelar Sanghyang Darmajaka, atau Sanghyang Wening, sedangkan yang bersuara kecil dijadikan anak kedua, diberi nama Sang Jaji, bergelar Sanghyang Wenang.
Beberapa tahun kemudian Dewi Rawati melahirkan anak ketiga, berwujud Akyan atau jin sejati, yang oleh Sanghyang Nurrasa diberi nama Sanghyang Taya. Ketiga putra Sanghyang Nurrasa itu sama-sama suka bertapa dan belajar ilmu kesaktian, dan yang paling menonjol di antara mereka adalah Sanghyang Wenang.
PRABU HARI MENYERANG PULAU DEWA
Tersebutlah seorang raja jin bernama Prabu Hari dari Kerajaan Keling. Ia mendengar adanya penguasa bernama Sanghyang Nurrasa di Kahyangan Pulau Dewa yang telah banyak menundukkan kaum jin. Prabu Hari merasa penasaran dan berniat mencoba ilmu kesaktian Sanghyang Nurrasa. Bersama Patih Sangadik dan sekutunya yang bernama Prabu Sikanda dari Kerajaan Selongkandi, mereka pun berangkat menyerang Pulau Dewa.
Sesampainya di sana, Sanghyang Nurrasa justru menyambut kedatangan mereka dengan ramah. Tak disangka, Sanghyang Nurrasa ternyata sudah mengetahui maksud dan tujuan para jin tersebut dan menyerahkan semua urusan kepada para putra.
Maka, Prabu Hari pun berhadapan dengan Sanghyang Wenang. Meskipun baru bertemu, namun Sanghyang Wenang dapat menebak asal-usul Prabu Hari, yaitu putra Jin Saraba. Adapun Jin Saraba adalah saudara dari Prabu Nurhadi, Prabu Rawangin, Patih Parwata, dan Patih Amir. Juga ada lagi saudara mereka yang lebih tua bernama Prabu Palija, raja Kerajaan Keling sebelumnya. Setelah Prabu Palija turun takhta, Kerajaan Keling diserahkan kepada putranya yang bergelar Prabu Sangadik. Namun Prabu Sangadik dapat dikalahkan oleh sepupunya sendiri, yaitu Prabu Hari tersebut. Prabu Sangadik lalu menyerahkan Kerajaan Keling kepada sepupunya itu, juga mempersembahkan putrinya yang bernama Dewi Wisawati. Prabu Hari kemudian menikahi Dewi Wisawati, sedangkan Prabu Sangadik ditetapkan sebagai patih.
Prabu Hari malu sekaligus marah karena asal-usulnya dapat ditebak. Ia pun menyerang Sanghyang Wenang dan terjadilah pertempuran. Namun pertempuran itu dapat dimenangkan oleh Sanghyang Wenang. Di sisi lain, Prabu Sikanda juga dapat dikalahkan oleh Sanghyang Darmajaka, sedangkan Patih Sangadik menyerah kalah kepada Sanghyang Taya.
SANGHYANG NURRASA MENGUNDURKAN DIRI
Sanghyang Nurrasa sangat senang melihat kemenangan putra-putranya, terutama kepada Sanghyang Wenang yang memiliki kepandaian paling tinggi. Ia pun mengubah permusuhan menjadi persahabatan dengan melamar putri-putri Prabu Sikanda dan Prabu Hari untuk menjadi menantunya. Kedua raja jin sangat gembira dan menerima lamaran tersebut dengan senang hati.
Maka, diadakanlah pernikahan antara Sanghyang Darmajaka dengan Dewi Sikandi putri Prabu Sikanda, serta Sanghyang Wenang dengan Dewi Sahoti putri Prabu Hari. Adapun Sanghyang Taya kelak akan bertemu jodohnya di lain waktu, demikian nasihat Sanghyang Nurrasa.
Tidak hanya itu, Prabu Sikanda juga menyerahkan Kerajaan Selongkandi kepada Sanghyang Darmajaka untuk menjadi penguasa di sana, sedangkan Prabu Hari menyerahkan Kerajaan Keling kepada Sanghyang Wenang. Namun Sanghyang Nurrasa memiliki rencana lain, yaitu mengangkat Sanghyang Wenang sebagai ahli waris Kahyangan Pulau Dewa. Adapun Kerajaan Keling sebaiknya diserahkan kepada putra Sanghyang Wenang yang lahir dari Dewi Sahoti.
Setelah keputusan diambil, Sanghyang Nurrasa lalu menyerahkan semua pusaka peninggalan Sanghyang Nurcahya kepada Sanghyang Wenang, lalu ia pun menitis dan bersatu jiwa raga dengan putra keduanya itu. Maka, sejak saat itu Sanghyang Wenang menjadi penguasa tertinggi di Kahyangan Pulau Dewa dengan bergelar Sanghyang Jatiwisesa, sedangkan Sanghyang Darmajaka menjadi penguasa Kahyangan Selongkandi dengan bergelar Sanghyang Purbawisesa. Sementara adik mereka, yaitu Sanghyang Taya memakai gelar Sanghyang Pramanawisesa.
KELAHIRAN SANGHYANG TUNGGAL
Setahun kemudian, Sanghyang Wenang membangun kahyangan baru yang melayang-layang di atas Gunung Tunggal, yang masih di dalam wilayah Pulau Dewa. Bersamaan dengan itu, Dewi Sahoti melahirkan putra pertama yang berwujud Akyan, dengan diliputi cahaya merah, kuning, hitam, dan putih. Sanghyang Wenang memandikan putranya itu dengan Tirtamarta Kamandanu sehingga keempat cahaya pun bersatu ke dalam diri si bayi yang langsung berubah dewasa.
Sanghyang Wenang kemudian memberi nama putra pertamanya itu Sanghyang Tunggal, sesuai nama Kahyangan Gunung Tunggal yang ditempatinya.
Silsilah keluarga Sang Hyang Wenang
Dari sini sejarah pewayangan mulai banyak terpecah (tergantung serat wayang yang dipakai).
Semar, Togog dan Bathara Guru
Dalam menjelaskan tentang peristiwa di wayang sebaiknya dijelaskan juga berdasarkan serat yang mana. Karena dalam pewayangan ada beberapa serat yang dijadikan acuan misalnya SERAT KANDA, SERAT PARAMAYOGA, SERAT PURWAKANDA, SERAT PURWACARITA dll.. itu yang menyebabkan bila ada yang menceritakan peristiwa di wayang bisa berbeda-beda versinya.
Dalam Serat Paramayoga Sang Hyang Tunggal adalah putra dari Sang Hyang Wenang. Tapi dalam serat Kanda, bapak dari Sang Hyang Tunggal adalah Sanghyang Nurrasa.
Di serat Kanda ini Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang.
Sebagai contoh : sejarah asal mula Semar dan Togog ada banyak versi :
Dalam SERAT KANDA : dikisahkan, penguasa kahyangan bernama Sanghyang Nurrasa memiliki dua orang putra bernama Sanghyang Tunggal dan Sanghyang Wenang. Karena Sanghyang Tunggal berwajah jelek, maka takhta kahyangan pun diwariskan kepada Sanghyang Wenang. Dari Sanghyang Wenang kemudian diwariskan kepada putranya yang bernama Batara Guru. Sanghyang Tunggal kemudian menjadi pengasuh para kesatria keturunan Batara Guru, dengan nama Semar.
Dalam SERAT PARAMAYOGA : dikisahkan, Sanghyang Tunggal adalah anak dari Sanghyang Wenang. Sanghyang Tunggal kemudian menikah dengan Dewi Rakti, seorang putri raja jin kepiting bernama Sanghyang Yuyut. Dari perkawinan itu lahir sebutir mustika berwujud telur yang kemudian berubah menjadi dua orang pria. Keduanya masing-masing diberi nama Ismaya untuk yang berkulit hitam, dan Manikmaya untuk yang berkulit putih. Ismaya merasa rendah diri sehingga membuat Sanghyang Tunggal kurang berkenan. Takhta kahyangan pun diwariskan kepada Manikmaya, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Ismaya diberi kedudukan sebagai penguasa alam Sunyaruri, atau tempat tinggal golongan makhluk halus. Putra sulung Ismaya yang bernama Batara Wungkuham memiliki anak berbadan bulat bernama Janggan Smarasanta, atau disingkat Semar. Ia menjadi pengasuh keturunan Batara Guru yang bernama Resi Manumanasa dan berlanjut sampai ke anak-cucunya. Dalam keadaan istimewa, Ismaya dapat merasuki Semar sehingga Semar pun menjadi sosok yang sangat ditakuti, bahkan oleh para dewa sekalipun. Jadi MENURUT SERAT PARAMAYOGA, SEMAR ADALAH CUCUNYA ISMAYA.
Dalam SERAT PURWAKANDA :dikisahkan, Sanghyang Tunggal memiliki empat orang putra bernama Batara Puguh, Batara Punggung, Batara Manan, dan Batara Samba. Suatu hari terdengar kabar bahwa takhta kahyangan akan diwariskan kepada Samba. Hal ini membuat ketiga kakaknya merasa iri. Samba pun diculik dan disiksa hendak dibunuh. Namun perbuatan tersebut diketahui oleh ayah mereka. Sanghyang Tunggal pun mengutuk ketiga putranya tersebut menjadi buruk rupa. Puguh berganti nama menjadi Togog sedangkan Punggung menjadi Semar. Keduanya diturunkan ke dunia sebagai pengasuh keturunan Samba, yang kemudian bergelar Batara Guru. Sementara itu Manan mendapat pengampunan karena dirinya hanya ikut-ikutan saja. Manan kemudian bergelar Batara Narada dan diangkat sebagai penasihat Batara Guru.
Dalam SERAT PURWACARITA : dikisahkan, Sanghyang Tunggal menikah dengan Dewi Rekatawati putra Sanghyang Rekatatama. Dari perkawinan itu lahir sebutir telur yang bercahaya. Sanghyang Tunggal dengan perasaan kesal membanting telur itu sehingga pecah menjadi tiga bagian, yaitu cangkang, putih, dan kuning telur. Ketiganya masing-masing menjelma menjadi laki-laki. Yang berasal dari cangkang diberi nama Antaga, yang berasal dari putih telur diberi nama Ismaya, sedangkan yang berasal dari kuningnya diberi nama Manikmaya. Pada suatu hari Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi pewaris takhta kahyangan. Keduanya pun mengadakan perlombaan menelan gunung. Antaga berusaha melahap gunung tersebut dengan sekali telan namun justru mengalami kecelakaan. Mulutnya robek dan matanya melebar. Ismaya menggunakan cara lain, yaitu dengan memakan gunung tersebut sedikit demi sedikit. Setelah melewati beberapa hari seluruh bagian gunung pun berpindah ke dalam tubuh Ismaya, namun tidak berhasil ia keluarkan. Akibatnya sejak saat itu Ismaya pun bertubuh bulat.
Perubahan dari Sang Hyang Ismaya menjadi Semar Badranaya
Sanghyang Tunggal murka mengetahui ambisi dan keserakahan kedua putranya itu. Mereka pun dihukum menjadi pengasuh keturunan Manikmaya, yang kemudian diangkat sebagai raja kahyangan, bergelar Batara Guru. Antaga dan Ismaya pun turun ke dunia. Masing-masing memakai nama Togog dan Semar.
Semar atau Sang Hyang Ismaya di kanan dan Togog atau Sang Hyang Antaga di kiri
Semar ditugaskan mengasuh para ksatria (golongan putih) sedangkan Togog ditugaskan mengasuh golongan raksasa dan golongan hitam (golongan sesat)
Dalam pewayangan Jawa Tengah, Semar selalu disertai oleh anak-anaknya, yaitu Gareng, Petruk, dan Bagong. Namun sesungguhnya ketiganya bukan anak kandung Semar. Gareng adalah putra seorang pendeta yang mengalami kutukan dan terbebas oleh Semar. Petruk adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa (raja Jin). Sementara Bagong tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa.
Wayang Punokawan
Dalam pewayangan Sunda, urutan anak-anak Semar adalah Cepot, Dawala, dan Gareng. Sementara itu, dalam pewayangan Jawa Timuran, Semar hanya didampingi satu orang anak saja, bernama Bagong, yang juga memiliki seorang anak bernama Besut.
Selain 4 contoh versi serat yg di atas masih ada versi serat yang lain, bahkan wayang versi India, Bali, Jawa (versi Jawa Timur, versi Sunda, versi Solo, versi Yogya, versi Banyumas dll) semua berbeda-beda ceritanya. Apalagi kalau dimainkan oleh dalang yang berbeda dengan gaya cerita dan acuan serat yg berbeda pula. Kami menghormati dan menerima semua perbedaan dari semua versi serat dan berusaha memahami perbedaannya. Justru ini yang menjadikan makin kaya, tinggi dan luhurnya khasanah budaya wayang kita
Sang Hyang Manikmaya alias Bathara Guru alias Mahadewa Siwa
Silsilah Mahabharata dari keturunan Batara Guru
Demikianlah gambaran mengenai sejarah asal muasal dunia wayang. Selanjutnya dari Batara Guru, Semar dan Togog ini lah para wayang dan keluarganya diturunkan. Semoga bisa membantu memberikan pencerahan bagi para pembaca mengenai awal mula dunia wayang.
Wassalam.
Sumber :
Belum ada tanggapan untuk "Sejarah Asal Muasal Dunia Wayang – Diawali dari Nabi Adam"
Posting Komentar