Beberapa waktu belakangan ini, fokus sebagian masyarakat Indonesia, khususnya warga Jakarta tertuju pada perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta atau Ahok Versus DPRD DKI. Perseteruan yang panjang ini mengakibatkan terbengkalainya pekerjaan yang seharusnya cepat dilaksanakan. Apalagi terlambatnya pengesahan RAPBD menjadi APBD DKI 2015, tentu membuat semua rencana menjadi tertunda.
Perseteruan yang pada akhirnya dimenangkan oleh Ahok, dan bersama DPRD sepakat untuk mencoret dana yang diduga siluman sebesar Rp. 12,1 Triliun. Namun, lagi-lagi masalah timbul, kesepakatan mencoret anggaran siluman itu tidak menjadikan DPRD menyetujui atau menjadikan RAPBD 2015 menjadi Perda. Menurut Ahok, DPRD merasa gengsi dan pada akhirnya, Ahok harus menerbitkan Pergub dan menggunakan pagu APBD 2014.
Lalu, bagaimana sebenarnya pandangan rakyat kecil atau sebut saja yang "awam" dalam menyikapi konflik tersebut?
Ya, rakyat kecil atau awan, sebenarnya tidak peduli dengan konflik para pejabat tersebut. Jika seorang pejabat atau bisa dibilang seorang wakil rakyat paham dan membangun komunikasi dengan mereka, mereka lebih memilih tidak ada konflik dan hubungan para pejabat itu seharusnya harmonis.
Wakil rakyat di DPRD mungkin sebagian bisa berjalan bersama rakyat. Tetapi terkadang mereka lupa menempatkan diri, bahwa mereka dipilih untuk mewakili mereka mengontrol kerja pemerintah, bukan merecoki. Namun yang terjadi justru mereka tidak bisa menjadi wakil yang baik, walau itu hanya beberapa oknum saja.
Ahok, sebagai seorang Gubernur yang berjiwa pemberani, tegas dan bisa disebut galak, leader yang memperhatikan bawahan. Jika saya
berpendapat, dia tidak ingin ada kesalahan dalam lingkungan kerjanya. Apalagi menyangkut uang rakyat. Sikapnya yang boleh dibilang blak-blakan dan selalu bicara apa adanya, reflek yang cepat dan transparan, membuatnya memikat hati sebagian besar rakyat di Indonesia.
Perjuangannya bisa menjadi seperti sekarang ini tentu tidak mudah. Apalagi, Ahok adalah (maaf) dari kaum minoritas. Bayangkan saja, seorang Ahok yang dari keturunan Tionghoa dan beragama Kristen bisa menjadi wakil Gubernur Jakarta. Okelah, menjadi Gubernur jelas otomatis. Tetapi melewatinya tentu sangat tidak mudah. Penolakan demi penolakan dialami Ahok. FPI menjadi garda paling depan yang menolak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Sampai di sini, masyarakat awam masih tidak peduli dengan hal-hal ini. Yang masyarakat butuhkan adalah kenyamanan, kesejahteraan dan hidup tenang, bekerja dan menghidupi keluarga dan dirinya sendiri.
Di media sosial, terutama di Facebook, kritik hujatan sepertinya akan selalu mewarnai perjalanan Ahok dalam memimpin DKI. Walau banyak yang mendukung Ahok, tetapi suara kebencian justru yang paling lantang disuarakan oleh orang-orang dengan akun palsu, yang mungki memiliki multi akun, dan bisa saja menggunakan nama orang lain.
Dengan hal media sosial, masyarakat awam tetap tidak peduli. Opini apapun yang muncul di televisi yang dihembuskan oleh politisi-politisi lawan Ahok, masyarakat kecil tak akan menggubris, karena mereka lebih senang nonton sinetron, acara tv lebay dan lainnya.
Budayawan Betawi, JJ Rizal pernah berkata, Ahok tidak diterima oleh mereka bukan karena sifat galaknya atau bicaranya, tetapi karena Ahok bukan bagian dari mereka.
Belum ada tanggapan untuk "Ahok Dalam Pandangan Rakyat Kecil"
Posting Komentar